sekilas.co – Video viral kayu gelondongan yang terbawa arus banjir di Sumatera Utara memicu tanda tanya besar di masyarakat. Banyak pihak mempertanyakan apakah bencana banjir yang terjadi murni akibat fenomena alam, ataukah ada campur tangan manusia yang memperparah situasi ini. Fenomena ini bukan hanya menjadi perhatian publik lokal, tetapi juga mengundang komentar dari berbagai organisasi lingkungan dan ahli ekologi mengenai kondisi hutan dan pengelolaan sumber daya alam di Pulau Sumatera.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara menegaskan bahwa akar permasalahan dari rentetan bencana yang menimpa sejumlah wilayah di Sumatera, termasuk banjir bandang, sangat berkaitan dengan kerusakan ekologis akibat aktivitas manusia. Menurut WALHI, kerusakan ini berasal dari pembukaan hutan yang masif, aktivitas pertambangan emas, hingga perluasan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan dalam kurun waktu hampir satu dekade terakhir.
Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Sumut, Jaka, menjelaskan bahwa daerah-daerah yang terdampak banjir mengalami bukaan tutupan hutan yang signifikan selama 9-10 tahun terakhir. Bukaan hutan ini tidak terjadi secara alami, melainkan merupakan akibat dari aktivitas perusahaan yang mengubah ekosistem setempat. Jadi kata kuncinya adalah permasalahan ini muncul karena campur tangan manusia, khususnya perusahaan yang mengeksploitasi ekosistem hutan di lokasi-lokasi tersebut, ujar Jaka.
Menurut Jaka, kerusakan hutan mengurangi kemampuan alam untuk menahan air hujan dan menstabilkan tanah. Akibatnya, ketika hujan deras melanda, air tidak dapat terserap dengan baik oleh tanah, sehingga aliran sungai meningkat drastis dan memicu banjir bandang. Selain itu, kayu gelondongan dan material lain yang terbawa arus merupakan bukti nyata bahwa lingkungan hutan telah mengalami degradasi parah, sehingga tidak mampu lagi menahan erosi atau longsoran.
WALHI Sumut menekankan pentingnya pendekatan restorasi ekosistem dan pengawasan ketat terhadap aktivitas perusahaan yang berdampak pada lingkungan. Mereka menyerukan agar pemerintah dan masyarakat bekerja sama untuk memperbaiki kondisi hutan, mengurangi laju deforestasi, dan menerapkan praktik pertambangan serta perkebunan yang ramah lingkungan. Tanpa tindakan nyata, risiko banjir dan bencana ekologis lain akan terus meningkat dan mengancam keselamatan warga di wilayah rawan bencana di Sumatera.
Dengan demikian, banjir di Sumatera Utara bukan semata-mata fenomena alam, tetapi juga merupakan cermin dari kerusakan ekologis yang diperparah oleh aktivitas manusia. Kesadaran kolektif, regulasi yang tegas, dan tindakan mitigasi sangat dibutuhkan agar bencana serupa tidak terus berulang di masa depan.





